Sesungguhnya agama Islam merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi para pemeluknya dalam membentuk organisasi. Sesungguhnya kemerdekaan untuk memeluk dan mengamalkan agama serta kemerdekaan untuk berserikat dan berorganisasi bagi setiap warga negara Republik Indonesia dijamin oleh Undang-undang Dasar R.I. Berkat ridha Allah Subhanahu Wata’ala dengan dilandasi keinginan yang luhur dan tulus serta secara sukarela, Al-Irsyad Al-Islamiyyah atas dasar kesamaan Aqidah Islamiyyah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman As-Salafush Shaleh, telah dibentuk oleh umat Islam Indonesia pada tanggal 15 Syawal 1332 H atau bertepatan tanggal 6 September 1914 yang telah pula memperoleh status Badan Hukum pada tanggal 11 Agustus 1915 dengan sasaran kemurnian tauhid, ibadah dan amaliyah Islamiyyah sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Imran ayat 110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah“.
Ahmad Surkati menurut ejaan dan
nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad As-Soorkattiy Al-Anshary. Ahmad
adalah nama yang diberikan ketika beliau lahir, Muhammad nama ayahnya, sedang
As-Soorkattiy menurut bahasa/dialek Sudan, Soor berarti buku-buku, kitab-kitab
– Kattiy adalah banyak. As adalah awalan sebagaimana bahasa Arab Al-Kitab,
As-Syams, An-Nur dan seterusnya. As-Soorkattiy disini berarti : suka membaca,
gemar membaca atau banyak ilmu. Gaya nama seperti itu tampaknya memiliki
persamaan dengan kebiasaan nama-nama Jawa, seperti; Sugiarto, Sugih – Kaya dan
Arto – Harta. Al-Anshary adalah nama marga beliau yang menunjukkan bahwa beliau
dari kelompok Anshar. Suku Ahmad Assoorkattiy Al-Anshary didalam tulisan ini
akan ditulis dengan ejaan Ahmad Surkati sebagai ejaan yang lazim dipakai
untuknya di Indonesia.
Ahmad Surkati dilahirkan di
desa Udhfu dan sebagian orang mengatakan didesa Argu – kedua desa ini berada
dalam wilayah Dunggula Sudan, beliau lahir pada tahun 1292 H atau 1874 M.
Menurut cerita beliau kepada
G.F. Fijper juga pada Otobiografi (ditulis oleh Muhammad Noor Al-Anshary,
karena pada usia tuanya beliau menderita ‘buta’), beliau meninggalkan Sudan
dalam usia muda dengan tujuan ke Mekkah untuk memperdalam ilmu yang telah ia
miliki. Ternyata sasaran yang dibutuhkan bagi kepentingan yang dimaksud berada
di Madinah dan beliau pun kesana. Disana, Ahmad Surkati memperdalam ilmu yang
berkaitan langsung dengan agama Islam seperti Tata Bahasa, Sastra dan lain-lain
yang diperlukan untuk kepentingan pemahaman kandungan Al-Qur’an disamping Ilmu
Tafsir, Hadits, Fiqh dan Tauhid.
Selain dari itu beliau juga
menyelami Falsafah, Falak dan Ilmu Ketabiban yang disebutnya dengan Tibb
Yunani. Di Madinah ini pula beliau menyerap Tajdid lewat karangan Ibn Taymiyyah
dan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sekalipun dalam kondisi sembunyi-sembunyi karena
buku-buku Tajdid dari Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, Al-Afghany dan Abduh adalah
buku-buku yang tidak dibenarkan beredar oleh pemerintah waktu itu.
Dengan pengetahuan dan semangat
pembaharuan ini kemudian (di Indonesia) Ahmad Surkati dituduh lawan-lawan
perjuangan pembaharuan sebagai Wahabi. Ahmad Surkati tidak dapat disebut
Wahabiyah karena disamping beberapa perbedaan sikap terhadap pembaharuan
didalamnya, Ahmad Surkati juga membantahnya. “Tangan saya gemetar ketika
menulis bantahan ini (Wahabiyyah – yang dituduhkan pada saya) bukan karena saya
takut terhadap gerakan yang keras itu. Melainkan karena saya memang tidak
mengetahui apalagi mengikutinya”.
Menurut G.F. Fijper : “Tetapi Al-Surkati tidak dapat disebut sebagai seorang
wahabi yang merebut Mekkah dalam tahun 1924, Al-Surkati sudah lama meninggalkan
Mekkah dan menetap di Jawa“.
Surkati merupakan orang Sudan
pertama yang memperoleh gelar Allamah. Disamping gelar ini, pengetahuan Surkati
yang menonjol adalah salah satu dari penyebab kehadirannya di Batavia (Jakarta)
1911 M.
Surkati datang ke Indonesia
atas permintaan lembaga pendidikan Jamiat Khair. Jamiat Khair adalah suatu
organisasi pendidikan yang menggunakan metode modern. Jamiat Khair didirikan
1905. Anggota-anggota organisasi ini sebagian besar adalah orang-orang Arab
tetapi Jamiat Khair bukan organisasi Arab, Hussein Djayadiningrat, Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah) dan beberapa orang lagi yang kemudian berpengaruh pada
pergerakan bangsa, merupakan anggota dari organisasi ini.
Sekalipun Jamiat Khair
tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern namun pandangan
keagamaan khususnya yang menyangkut persamaan derajat yang merupakan bagian
penting dari ajaran Islam belum terserap dengan baik, apalagi bagi
kelompok-kelompok kolot. Ini dibuktikan dengan kerasnya pemuka-pemuka Jamiat
Khair dalam menentang Surkati yang memfatwakan persamaan derajat, yang kemudian
populer dengan “Masalah Kafaah“.
Kekurangan pengetahuan
pemuka-pemuka Jamiat Khair akan pandangan Ahmad Surkati yang tidak membedakan
sesama manusia kecuali atas dasar taqwa sebagaimana ajaran Islam yang murni,
menyebabkan Jamiat Khair terantuk ketika Surkati menyampaikan fatwa yang
menyangkut persamaan derajat itu.
Bermula dari fatwa inilah
keluarnya Surkati dari Jamiat Khair dan berhenti selaku Kepala Bidang
Pendidikan dari lembaga tersebut yang kemudian mendirikan Al-Irsyad
Al-Islamiyyah.
Pada mulanya hubungan Surkati
dengan pemuka-pemuka Jamiat Khair yang kolot (kelompok yang menerjemahkan
Sayyid atau Syarifah bermakna Ningrat) berjalan cukup lancar. Perbedaan
pandangan atau permasalahan khilafah tidak menjadikan hubungan mereka putus.
Kurang lebih 3 (tiga) tahun Surkati memimpin lembaga pendidikan ini. Namun
ketika Surkati berfatwa tentang kafaah, tentang persamaan derajat kelompok ini
serta merta memandang Surkati orang yang tidak patut duduk di bidang pendidikan
mereka.
Hubungan Surkati dengan Ahmad
Dahlan sudah terjalin sebelum adanya Muhammdiyyah maupun Al-Irsyad, yaitu kala
keduanya masih berkecimpung di Jamiat Khair.
Seperti disampaikan tadi bahwa
Ahmad Dahlan adalah anggota Jamiat Khair dan Surkati sebagai Kepala Bidang
Pendidikan Jamiat Khair. Sebagai orang pergerakan yang berpikiran maju maka
bagi Ahmad Dahlan kehadiran Surkati di lembaga ini berlanjut dengan
persahabatan. Untuk diri KH. Ahmad Dahlan, Surkati menyatakan : “Tidak ada
ketakabburan dan kefanatikan (Ta’assub) pada dirinya, dia adalah seorang yang
mengabdi pada agama Islam dengan segala keikhlasannya. Ahmad Dahlan telah
berunding dengan saya perihal akan didirikannya Muhammadiyyah. Dia telah
membaca karangan Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Muhammad Abduh dan
karangan-karangan lain yang senada”.
Perundingan antara Surkati
dengan KH. Ahmad Dahlan sama sekali bukan perunding pembagian porsi (Surkati
bergerak dikalangan Arab dan Ahmad Dahlan dikalangan pribumi) seperti yang
banyak beredar, khususnya dikalangan Muhammadiyyah, sama sekali tidak benar.
Seperti diketahui bahwa mulai
1911 hingga 1914 Surkati masih terikat perjanjian pada Jamiat Khair, sedang
Muhammadiyyah berdiri 18 November 1912, dengan itu tidak memungkinkan Surkati
berkecimpung langsung di Muhammadiyyah.
G.F. Fijper menyatakan : “Yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dan ada
persamaannya dengan gerakan pembaharuan reformis di Mesir adalah gerakan
pembaharuan Al-Irsyad yang artinya “Pimpinan”. Nama lengkapnya ialah
Jam’iyyat al-Ishlah wal Irshad artinya : Perhimpunan bagi Reformis dan
Pimpinan. Rupanya nama ini diambil dari Jam’iyyat al-Da’wa wal Irshad di Mesir
yang didirikan oleh Muhammad Rashid Ridha. Pendiri Al-Irshad di Indonesia
adalah Ahmad bin Muhammad al-Surkati al-Anshary, seorang asing keturunan Arab berasal
dari Sudan. Saya pribadi kenal baik dengan alim ini di Jakarta“.
Dalam bukunya yang berjudul :
Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950 – Pijper menerangkan juga : “Haji Agus Salim meyakinkan saya bahwa kiai Haji Ahmad
Dahlan mengetahui tentang Reformisme Mesir itu, tetapi pemimpin Muhammdiyyah
yang kemudian tidak mengadakan penyelidikan dalam hal ini. Seperti sudah
dikatakan di depan, bahwa Muhammadiyyah timbul sebagai reaksi terhadap zending
Protestan dan misi Roma Katolik, baru kemudian boleh disebut Gerakan Reformisme“.
Kembali kepada Surkati dengan
Jamiat Khair. Setelah putusnya hubungan keterikatan tugas di Jamiat Khair
(akibat fatwa Surkati yang “Persamaan Derajat” itu)
Surkati merencanakan untuk kembali meninggalkan Indonesia. Tetapi dibalik rencana
Surkati, kelompok pemuka-pemuka masyarakat yang terdiri dari orang-orang Arab
membuat pertemuan dan perundingan sendiri antar mereka perihal rencana Surkati.
Kelompok ini dipelopori oleh
Umar Manggusy, seorang pemuka Arab yang jabatannya didalam peraturan kolonial
Belanda disebut Kapten Arab.
Pemuka-pemuka seperti ini
menjabat sebagai pamong bagi kalangannya, mengadakan pencatatan kependudukan,
penyelesaian permasalahan bila terjadi dikalangannya dan lain sebagainya yang
sederajat. Disamping Umar Manggusy yang Kapten Arab itu terdapat pula Said
Salim Mashabi, Saleh Ubeid Abdat, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan
Umar bin Salim Nahdi yang masing-masing dari kelompok pedagang.
Setelah mengadakan pertemuan
mereka mendatangi Surkati dan menyampaikan isi serta keputusan dari pertemuan
mereka yaitu mengharap agar Surkati tetap berada di Indonesia.
Topik pembicaraan mereka dengan
Surkati adalah permasalahan pendidikan yang amat dibutuhkan masyarakat.
Pertemuan antara keduanya (Surkati dan kelompok Manggusy) menghasilkan
kesepakatan untuk mendirikan sarana pendidikan yang dinamakan Madrasah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang kemudian direalisasikan dan diresmikan pada
tanggal 15 Syawal 1332 H/6 September 1914 di Jati Baru atau Jati Petamburan
Jakarta.
Perjuangan Ahmad Surkati dalam
menegakkan kemurnian Islam tidak hanya disalurkan lewat pengajaran formal di
madrasah yang dipimpinnya saja, melainkan ia salurkan pula lewat
tulisan-tulisan, kuliah, ceramah maupun artikel-artikel di majalah. Buah tangan
beliau selain menarik untuk dibaca dan ditelaah, juga dikuatkan oleh latar
belakang yang menarik pula, sehingga orang dapat melihat pandangan agamanya
sekaligus terlihat pola pikir Surkati yang maju dengan keluasan ilmunya.
Contoh buah tangan Surkati
seperti yang disebut diatas adalah bukunya yang berjudul : Al-Masaail Ats-Tsalaats, suatu buku yang
menjelaskan kedudukan Ijtihad, Taqlid Sunnah dan Bid’ah serta Ziarah Kubur dan
Tawassul. Buku ini diselesaikan beliau hanya dalam waktu semalam dan didalam
kondisi yang amat terpaksa dan terbatas.
Buku : Al-Masaail Ats-Tsalaats
ditulisnya sebagai makalah Ilmiah, jawaban atas tantangan debat kelompok lawan
perjuangannya. Tantangan debat itu disampaikan ketika Surkati berada di
Surabaya dalam rangka supervisi ke Sekolah Al-Irsyad Al-Islamiyyah Surabaya
tahun 1343 H (1925 M). Sumber
acuan makalah tersebut mulai dari ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, perawi-perawinya
serta kedudukan atasnya, sandaran imam-imam Madzhab seperti Syafi’i, Hambali,
Maliki dan Hanafi ditambah dengan serentetan pandangan orang-orang terkemuka
termasuk judul-judul kitabnya dituangkan Surkati lewat hafalannya yang kuat.
Kekuatan daya ingat yang dimiliki Surkati seperti itu menghasilkan kekaguman
tersendiri.
Disamping itu “Huquuqun Nisaa” berasal
dari ceramah agama tentang Hak dan Kehidupan Rumah Tangga yang kemudian ceramah
ini diterjemahkan oleh salah seorang muridnya, Abdullah Badjerei yang
selanjutnya dijadikan materi yang dibaca oleh AM Sangaji di Kongres Luar Biasa
Islam Hindia (Bandung 8 Februari 1926) dan berikutnya diterbitkan oleh Persis
(Persatuan Islam) 1 November 1933.
Gairah kemajuan dan kemurnian
Islam selalu ditampakkan Surkati pada murid-muridnya lewat kuliah-kuliah dan
penyuguhan bacaan-bacaan seperti Risalah Tauhid karangan Muhammad Abduh dan
bacaan lain yang tak kalah mutunya. Segala usaha dalam rangka perjuangan
mencapai kemajuan berpikir, selalu disambutnya dengan kegembiraan.
Kesungguhan Surkati tersebut
antara lain dapat ditemukan dari majalah Azzchierah Al-Islamijah yang
dipimpinnya. Sebagaimana ditandaskan dalam penerbitan perdananya, yaitu:
Pertama, menguraikan dengan jelas, hadits-hadits dusta dan lemah yang masih
banyak beredar di kalangan orang awam, dan bahkan dalam karya-karya ke-Islam-an
. Kedua, membantah berbagai pendapat yang salah dengan kekuatan dalil aqli dan
naqli. Ketiga, menguraikan keindahan ajaran Islam, yang senantiasa cocok untuk
segala tempat dan masa. Dan keempat, membangkitkan semangat umat Islam untuk
meraih kemajuan dan kesempurnaan hidup, agar mereka tak sampai menjadi noda
hitam pada wajah Islam yang jernih.
Sekalipun dalam catatan
kehidupannya dijumpai nama-nama seperti Snouck Hurgronje, Van Der Plas dan G.F.
Fijper yang pejabat-pejabat Belanda tetapi pandangan Surkati terhadap
pemerintah Kolonial tidak pernah berubah, baginya Belanda bukan saja penjajah
politik tetapi juga penjajah agama.
Persahabatannya dengan tokoh
pergerakan Indonesia asli banyak terjalin. Persahabatannya dengan KH. Ahmad
Dahlan bukan saja ditampakkan dalam kehidupan pribadi tetapi juga menyangkut
Muhammdiyyah. Kontak-kontak hubungan itu dapat dilihat pada permintaan fatwa PP
Muhammadiyyah kepadanya antara lain surat Hoodbestuur Mohammadiyah No. 229 – D
perihal pengertian : Apakah Hakekat Diin, Dunia, Sabil Allah, Qiyaas dan
Al-Haraj. Selain dari kontak-kontak seperti itu murid-muridnya antara lain M. Yunus
Anis, Kahar Muzakkir, Farid Ma’ruf, M. Rasyidi adalah orang-orang yang kemudian
menjadi penting kehadirannya di Muhammdiyyah.
M. Yunus Anis terkenal dengan sebutan “Tulang Punggung Muhammdiyyah” karena pemikiran dan
pengabdiannya selaku sekjen selama 25 tahun. Prof. Kahar Muzakkir aktifis
Gerakan Kemerdekaan Indonesia yang juga salah seorang penandatangan Piagam
Jakarta (22 Juni 1945). Prof. Dr. H.M. Rasyidi Menteri Agama RI yang pertama,
Prof. Farid Ma’ruf dan lain-lain merupakan realisasi arti persahabatan itu.
Banyaknya kalangan
Muhammadiyyah yang sebelumnya merupakan anak didik Surkati menimbulkan
pengakuan Muhammdiyyah : Bahwa Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah gurunya Muhammdiyyah (Adil, 2 Desember 1939).
Surkati tidak pernah mau
mencampuri hal-hal politik namun semua tindakannya berpengaruh juga pada
kehidupan politik, bukan saja di Indonesia tetapi gema pembaharuannya sampai ke
Hadramaut/Arab Selatan. Gema pembaharuan yang terakhir ini disebabkan
kontak-kontak surat antar mereka dengan sanak keluarga dinegeri asal, juga
adanya anak-anak kalangan Arab yang dikirim oleh orang tuanya kesana,
diantaranya Solah Bakri. Untuk ini G.F. Fijper menyatakan : “Dia sendiri tidak ingin mencampuri politik tetapi tanpa
disengaja dia menyinggung juga politik …..”
Memang, gairah kemajuan dan kemurnian Islam yang diterapkan Surkati kepada
murid-muridnya melahirkan berbagai dampak Islami yang penuh gairah.
AR Baswedan, membuat gebrakan
dikalangan keturunan Arab dengan PAI nya (Persatuan Arab Indonesia) yang
kemudian menjadi Partai Arab Indonesia pada 4 Oktober 1934. PAI bukan saja
satu-satunya partai yang didirikan keturunan asing yang diterima GUPI tetapi
PAI adalah satu-satunya gerakan politik yang didirikan oleh keturunan asing
yang menyetuskan sumpah : Satu Bangsa, Bahasa dan Tanah Air Indonesia, suatu
sumpah senada dengan Sumpah Pemuda 1928, yang diikrarkan mereka (1934) hanya
berselang enam tahun dari Sumpah Pemuda itu sendiri.
Perbedaan-perbedaan kecil yang
tampak besar dikalangan PAI dan Al-Irsyad adalah bagian dari liku-liku
perjuangan. Perbedaan landasan PAI yang politik dan Al-Irsyad organisasi
keagamaan dijadikan polemik dan dikeraskan “Aliran Baroe” media tidak
resmi PAI asuhan Husin Bafagih yang juga penulis skenario drama
“Fatimah” (Toneel Fatimah, adalah drama yang mencemooh kehidupan
kelompok tua yang asing). Tetapi kepada penulis AR Baswedan sendiri menyatakan
: “Apakah dengan adanya dampak itu lalu ananda meragukan ke
Al-Irsyad-an saya ?”
Pada kesempatan lain beliau (AR
Baswedan) menjelaskan: “Sebagai muridnya, beliau telah membentuk saya
sebagai AR Baswedan yang ananda kenal ini. Urusan pertikaian saya dengan
sebagian orang-orang Al-Irsyad yang duduk dikepengurusan Al-Irsyad waktu itu
adalah perkara lain”. Dan Surkati sendiri di Jubelium Al-Irsyad (Kongres
di Surabaya tahun 1939) menjelaskan dukungannya pada PAI. Adapun yang
disesalkan Surkati adalah sikap-sikap sebagian orang PAI yang mengecam dan
mencemooh kehidupan orang tuanya yang asing, lebih-lebih cemooh yang tidak ada
kaitannya dengan garis perjuangannya.
Perjuangan Surkati dan
Al-Irsyad maupun sebaliknya merupakan kaitan erat dan tak terpisahkan. Lewat
dirinya dan Al-Irsyad telah melahirkan tokoh-tokoh masyarakat dan pejuang
bangsa. Syekh Ahmad adalah sebutan dan panggilan yang diberikan padanya oleh
Irsyadiyyin selain Ustadz dan Muallim Ahmad.
Ahmad Surkati tutup usia pada
hari Kamis tanggal 6 September 1943 jam 10.00 pagi, dikediaman beliau Jalan
Gang Solan (KH. Hasyim Asy’ari No. 25) Jakarta, tepat 29 tahun sejak beliau
mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah . Jenazahnya diantar ke tanah Pekuburan
Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa diatas tanah kuburannya
sebagai permintaan dan amanat beliau sendiri.
Diantara orang-orang dan para
muridnya yang melayat sebagian besar telah menjadi tokoh masyarakat dan pejuang
bangsa, ikut bergabung bersama mereka Bung Karno yang pernah menyatakan bahwa
almarhum telah ikut mempercepat lahirnya Gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dari sejak lahirnya hingga saat ini enam dasar pokok tersebut telah mengalami
dua kali penuangan tertulis, yang pertama tahun 1915 pada; Sikep dan Toedjoean
Al-Irsyad dan yang kedua tahun 1970 di Mu’tamar Bondowoso.
LEGALITAS YAYASAN
- Akte Notaris No 11 tanggal 07 Januari 2015 dari Notaris Saleh Bafadal S.H,
- Surat pendirian TK berdiri 21 September 1961 izin operasional 88/B-PD/77
- Surat pendirian SD berdiri 1918 izin operasional 26/39/Pend/1984 tanggal 1 Oktober 1984
- Surat pendirian SMP berdiri 1 januari 1967 izin operasional VII/83/600/1971 tanggal 19 Januari 1971
- Surat pendirian SMK Informatika berdiri 26 mei 2003 izin operasional 421.5/702/Disdik/2003 tanggal 26 mei 2003
- Surat pendirian Roudhotul Qur’an berdiri 1 Agustus 1989 izin operasional : KD.1020/5/PP00.7/B46/2005
VISI
“Menjadi lembaga pendidikan dan da’wah berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits”
MISI
- Menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan non formal berdasarkan ajaran Islam yang bersih dari takhayul, bid’ah dan khurafat
- Meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas serta berprestasi dibidang ilmu pengetahuan dan Teknologi
- Menyiapkan SDM yang berkualitas, beraqidah Islamiyyah dan berakhlakul karimah
- Meningkatkan pelaksanaan program Pembelajaran Al-quran dan Pembiasaan/Biah Islamiyyah sebagai media da’wah